Minggu, 14 Agustus 2011

SELEMBAR KERTAS HINA


HINA
Aku orang hina
Meninggalkan anakku jatuh ke lembah hitam
Tanpa ku sadari aku lari darinya
Aku tak tahu bagaimana dia sekarang
Nak, di mana kamu?
Aku akan mencari mu sampai kapan pun
Dan, kalimat pertama ku untukmu
“Maafkan aku!”
                “Apa ini?” Till bertanya pada Bibi Hauna
                “Itu bukan apa-apa Till”
                “Tapi bibi,ini boleh ku baca kan?”
                “Jangan!” sambil menarik secarik kertas dari tangan Till.
                “Ada apa Till?” Tanya Yuuza
                “Tadi, sebelum kita berjalan agak jauh, aku menemukan secarik kertas. Aku tanyakan pada ibumu, apa boleh ku baca? tapi tidak di bolehkan, malah di buang.”
                “Aneh, apa ya isi kertas itu tadi Till?”
                “Sudahlah Yuuza, itu tidak penting.”
                “Baiklah!”
                Kami pun melanjutkan perjalanan, tanpa memperdulikan isi surat tadi, aku langsung saja berjalan mengikuti Yuuza dan bibi Hauna. Tapi, bagaimanapun juga, kadang kejadian tadi melintas di fikiranku. Kami dari suku Suaru, kami berjalan mencari kota besar di Mesir. Setelah, kami menemukan Kota Eden, dan sebelumnya, meninggalkan kakak dari Yuuza. Aku sangat sedih, ketika ia tertimbun badai pasir. Itulah, pengalamanku dan tantangan melawan orang di suku Pauro, sampai akhirnya mengetahui jika Ketua suku tersebut kakak Yuuza.
                “Hei Till! Kau melamun?”
                “Eh, bukan, aku bukan melamun”
               

“Terus, kau sedang apa?”
                “Merenung”

                “Itu sama saja Till!! >,<
                “Baiklah jika itu maumu!”
                “Hei, kau marah?”
                “Apa?”
                “Yuuza! Jangan ganggu dia!” terdengar bibi Hauna menegur Yuuza
                “Tidak bu!”
                “Yuuza, kau nggak capek apa?”
                “Ah, ini sudah biasa.”
                Padang pasir, hewan, musuh, perampok, bencana, kami lalui begitu saja. Walaupun itu terlihat sakit bagi tubuh kami, tapi kami tak akan menyerah untuk mencari kota. Dan akhirnya aku bias segera menikah dengan Yuuza.
                Tepat di suatu oasis, kami berhenti sejenak untuk mencari makanan dan minuman, serta untuk persiapan tidur.
                “Uhk . . . . uhk. . . . . . tolong.”
                Terdengar suara orang minta tolong dengan nada yang sangat pelan. Sepertinya orang itu kesakitan. Akhirnya, aku saja yang menolong.
                “Gyle! Ternyata kamu!”
                “Ha? Till, kau di sini? Mana Ibu dan Yuuza?”
                “Ayo, ikut aku,”
                Beberapa saat kemudian, aku beranjak dan menuntun Gyle dan membawanya ke Bibi Hauna juga Yuuza.
                “Bibi! Yuuza! Aku temukan Gyle di pojok danau itu, dia sepertinya terluka, tolong bantu aku Yuuza!”
               

“Cukup Till! Biarkan dia, jangan di tolong, biar aku dan dia mati di sini, sekarang kau dan Yuuza cepat pergi, tinggalkan kami. Aku ingin menebus dosaku!”
                “Ibu! Apa yang kau katakan? Cukup Ibu, cukup!” teriak Yuuza sekeras mungkin.
                “Yuuza, aku orang hina Yuuza,” bibi hauna tiba-tiba saja menitikkan air mata.
                Antara bibi Hauna dan Yuuza tidak ada yang bicara sama sekali. Sampai larut malam tiba, Gyle tidur dengan Yuuza sementara aku dengan Bibi Hauna. Berbekal daun pisang dan ranting, kami tidur dengan tenang.
                Tiba-tiba saja, aku mendengar suara orang berjalan mendekati ku.
                “Trang!”
                “I . . itu kan, suara pedang?”
                Gumamku, sambil memastikan ada musuh yang mendekat.
                Aku mengendap-endap dan ternyata, seorang laki-laki membawa 10 anak buah yang berbadan besar. Aku tidak tahu itu siapa. Ku bangunkan bibi Hauna,
                “Bibi, ada yang datang!”
                “Ah! Mana Till?” bibi Hauna langsung beranjak dari tempat tidurnya.
                “Itu bibi,”
                “I . . . Itu . . . !”
                “Siapa bibi? Bibi kenal dengan dia?”
                “Oh, tidak, bibi nggak kenal.”
                “Baiklah,”
                “Hei Till, bangunkan Yuuza dan Gyle. Suruh dia mempersiapkan kekuatan, kita akan bertemper dengan mereka,”
                “Baik bibi.”
                Aku pun beranjak dari tempatku dan ke tempat Yuuza dan Gyle.
                “Gyle, Yuuza, ada musuh datang, Ibu menyuruh kalian mempersiapkan kekuatan. Kita akan bertempur dengan mereka.”
               

“Eh, ya, ok baiklah!”
                Jawab Yuuza pelan.
                “Hei, kau! Beraninya menggangu tidur kami!” geretak Yuuza.
                “Haha . . .  anak muda, justru kalian yang mengganggu kami. Ini oasis milik kami, kenapa kalian di sini?”
                “Kenapa? Memang tidak boleh?”
                “Jelas tidak, ini milikku!”
                “Cepat lari Till, biar aku dan Yuuza yang menangani semua ini!” bisik Gyle kepadaku.
                “Baik Gyle, jaga Yuuza!”
                “Dan kau, jaga Ibu ya!”
                “Baik!”
                Aku segera berlari meninggalkan mereka. Aku tahu, Gyle dan Yuuza pandai dalam bertarung, tapi apa mereka bisa selamat dengan musuh yang seperti itu?
                Di tengah pelarian ku, aku bertemu bibi Hauna.
                “Bibi, kenapa di sini?” aku bertanya seperti itu karena dia ada di sebuah singgasana raja, aku juga kaget karena pakaian bibi Hauna mendadak rapi dan indah.
                “Till, di mana Gyle dan Yuuza?”
                “Ayo ikut aku bibi!”
                Sambil mengenda-endap kami mengintip keadaan Gyle dan Yuuza. Tapi tiba-tiba, bibi Hauna berlari ke arah ketua suku tersebut.
                “Hentikan Eddy!”
                “Apa yang kau lakukan Hauna? Kau pasti senang melihat ku beradu dengan anak-anak kita!”
                “Anak?” gumam Yuuza.
                “Tunngu!” teriak Bibi Hauna kepada Eddy.
               


“Anak-anak, ini ayah kalian. Gyle, sebenarnya ayahmu masih hidup, namun dia menyerahkan tahta Pauro padamu kan? Tapi dia langsung minggat begitu saja.”
                “Iya bu, dan saat itu aku kehilangan 1 orang lagi.”
                “Baiklah, kalian lanjutkan perjalanan, biar aku dan ayah di sini untuk menetap, carilah kota, kami akan merestui hubungan Yuuza dan Till, segeralah menikah!”
                Kami di bawa sebuah kereta kencana milik ayah Yuuza.

                “Ibu!!!!” teriak Yuuza dari dalam kereta
                Akhirnya, kami mencari kehidupan di kota, mencari pekerjaan, dan akhirnya aku dan Yuuza menikah. Gyle juga mencari pendamping dari kota yang kami singgahi.


               



                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

like BOX